Naik gunung bukan sekadar hobi. Ada (1) semangat dan (2) tanggung
jawab di dalamnya. Keduanya terikat erat, seperti edelweiss yang
tercecer di sepanjang jalan, kita pungut lalu kita ikat. Menjadi sebuah
idealisme.
Ceceran edelweiss itu, ah… bagaimana edelweiss bisa tercecer?
Sedikit tentang edelweiss. Nama bunga ini diambil dari dua kata dalam
Bahasa Jerman, yaitu (a) “edel” = “noble” mulia dan (b) “weiss” =
“white” putih. “Bunga putih yang mulia”. Aromanya, tidak seharum mawar
atau melati. Konon, edelweiss melambangkan keagungan, kesucian, dan
keabadian. Keberadaan bunga ini pun cukup unik, terjaga di puncak-puncak
gunung. Jadi, cuma para pendaki saja yang bisa menemukan bunga ini.
Sayangnya, edelweiss tidak boleh dipetik. Hatta, edelweiss
yang gugur pun tidak diperkenankan dibawa pulang, turun meninggalkan
gunung. Ini konvensi yang berlaku di antara para pehobi aktivitas
pecinta alam. Dan, mau atau tidak, para pendaki gunung mesti
mengikutinya. Ketika keinginan membawa pulang edelweiss –sebagai suvenir
perjalanan di ketinggian, di situ ada ujian bagi para pehobinya.
Bisa jadi, seseorang naik gunung karena edelweiss. Tapi, tidak bagi
para aktivis pecinta alam. Idealisme. Bahkan di semua hobi ada sinaran
idealisme. Karena jika tidak ada idealisme, maka hobi itu akan lebih
mengarah pada kesia-siaan si pelaku hobi. Tidak bermanfaat baginya, bagi
orang lain, bahkan bagi lingkungannya.